Скачать книгу

-tombak bermata kapak-, atau bergulat seperti yang dilakukan oleh para prajurit ini. Kekuatan badannya tak sampai separuh kekuatan mereka, dan inilah yang sangat ia sesalkan.

      Namun Kyra tahu bahwa ia memiliki kemampuan alamiah dalam menggunakan dua jenis senjata, dan masing-masing senjata itu membuatnya menjadi lawan yang tangguh meskipun ia adalah seorang gadis dan tubuhnya mungil, yaitu busur panah dan tongkat. Busur panah ia kuasai sejak kecil, sedangkan ia baru saja mahir menggunakan tongkat beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja, ketika ia tak mampu mengangkat sebuah pedang besar. Waktu itu, para prajurit menertawakan dirinya yang tak mampu mengangkat pedang besar itu, dan untuk mengejeknya, salah seorang dari mereka melemparkan sebuah tongkat padanya dengan penuh cemooh.

      "Siapa tahu kau bisa mengangkat tongkat ini," seru prajurit itu ditimpali gelak tawa para prajurit yang lain. Kyra tak pernah lupa betapa malunya ia saat itu.

      Awalnya, mereka menganggap tongkat itu sebagai ejekan belaka; toh tongkat semacam itu hanya digunakan sebagai senjata latih bagi mereka, para pemberani yang membawa pedang besar dan kapak dan tombak bermata kapak, yang mampu menumbangkan sebatang pohon dengan sekali tebas. Mereka menganggap tongkat kayu itu sekadar sebuah mainan, dan itu membuat Kyra semakin diremehkan.

      Namun Kyra telah mengubah mainan itu menjadi sebuah senjata ampuh, sebuah senjata yang mengerikan. Tongkat itu menjadi sebuah senjata yang membuat banyak anak buah ayahnya bertekuk lutut. Kyra sangat kagum akan betapa ringannya tongkat itu, dan ia lebih kagum lagi menyadari betapa dirinya dapat menguasainya secara alami—begitu cepat gerakannya sehingga ia dapat mendaratkan pukulan saat para prajurit itu bahkan belum selesai menghunus pedangnya. Dengan tongkat itu, banyak prajurit yang berlatih dengannya harus berakhir dengan lebam-lebam di tubuhnya, dan sekaligus ia berhasil mendapatkan kembali rasa hormat mereka.

      Setelah berlatih seorang diri tanpa henti, meningkatkan kemampuannya tanpa seorang pelatih, Kyra berhasil menguasai banyak gerakan yang mampu memukau para prajurit itu, gerakan-gerakan yang tak dipahami oleh satu pun dari mereka. Mereka pun tertarik pada tongkat itu, dan Kyra lantas mengajari mereka. Dalam benak Kyra, busur dan tongkat itu saling melengkapi, dan masing-masing sama pentingnya: ia membutuhkan busur panah untuk pertarungan jarak jauh, dan tongkat itu ia butuhkan untuk pertarungan jarak dekat.

      Kyra juga menyadari betapa ia memiliki bakat alami yang tak mereka miliki: ia sangatlah gesit. Ia bagaikan seekor ikan kecil di lautan yang dipenuhi oleh hiu-hiu yang lamban, dan meskipun para pria kawakan itu memiliki kekuatan yang besar, Kyra dapat bergerak lincah ke sana kemari, ia dapat melompat tinggi, berjungkir balik melampaui kepala mereka dan mendarat dengan berguling—atau mendarat dengan kedua kakinya. Dan ketika kegesitannya ini berpadu dengan teknik bermain tongkat, hasilnya adalah sebuah paduan yang mematikan.

      "Apa yang dilakukannya di sini?" tanya seseorang dengan suara kasar.

      Kyra, yang berdiri di tepi arena latihan di sebelah Anvin dan Vira, mendengar derap kuda yang mendekat; lalu ia berbalik dan melihat Maltren berkendara di atas kudanya, disertai oleh beberapa kawannya sesama prajurit dengan nafas yang masih terengah-engah akibat pedang yang mereka bawa, karena mereka baru saja berlatih di arena itu juga. Maltren memandangnya dengan hina, dan Kyra pun merasa muak. Di antara sekian banyak anak buah ayahnya, Maltren adalah satu-satunya prajurit yang tak menyukai dirinya. Entah karena alasan apa, ia membenci Kyra sejak pertama kali melihat dirinya.

      Maltren duduk di atas pelana kudanya dengan emosi yang mendidih; dengan hidung pesek dan mukanya yang buruk, ia cocok sekali menjadi seorang pembenci, dan tampaknya ia menemukan mangsanya, yaitu Kyra. Ia selalu menentang keberadaan Kyra di arena latihan ini, mungkin lantaran Kyra adalah seorang gadis.

      "Kau seharusnya kembali ke dalam benteng ayahmu, mempersiapkan pesta perayaan bersama dengan gadis-gadis muda yang bebal lainnya" kata Maltren.

      Di sebelah Kyra, Leo menggeram pada Maltren, lalu Kyra mengeluskan tangannya pada kepala Leo untuk menenangkannya.

      "Dan mengapa serigala ini boleh masuk ke arena latihan kita?" imbuh Maltren.

      Anvin dan Vidar yang memihak Kyra menatap Maltren dengan dingin dan tajam; Kyra masih berdiri di situ dan tersenyum saja, karena tahu bahwa mereka berdua akan membelanya dan Maltren takkan dapat mengusirnya dari situ.

      "Rasanya kau harus kembali ke arena latihan, bukannya sibuk mengurusi gadis muda dan bebal yang keluar-masuk di sini," balas Kyra dengan nada mengejek.

      Maltren meradang, namun tak dapat membalas. Ia berpaling, bersiap hendak pergi, namun tak lupa untuk menghina Kyra lagi sebelum berlalu.

      "Hari ini adalah latihan tombak," katanya. "Sebaiknya kau menyingkir dari para pria sejati yang berlatih menggunakan senjata yang sebenarnya."

      Maltren berpaling dan memacu kudanya bersama dengan kawan-kawannya, dan setelah ia berlalu, Kyra merasa bahwa kesenangannya di sini sempat terganggu oleh kedatangan Maltren.

      Anvin memandangnya dengan tatapan menenagkan dan merangkul bahunya.

      "Pelajaran pertama bagi seorang prajurit adalah belajar hidup bersama orang yang membencinya," ujarnya. "Suka tak suka, kau akan bertempur bersama orang-orang yang membencimu, dan menggantungkan nyawamu pada mereka. Seringkali, musuh terbesar bukanlah lawanmu, melainkan kawanmu."

      "Dan mereka yang banyak bicara biasanya tak pandai bertarung," sahut seseorang.

      Kyra membalikkan badan dan dilihatnya Arthfael datang dengan senyum menyeringai, membelanya seperti biasanya. Seperti Anvin dan Vidar, Arthfael -seorang prajurit pemberani yang bertubuh tinggi, dengan kepala pelontos dan jenggot hitam yang panjang dan kaku ini- selalu bersikap baik pada Kyra. Ia adalah salah satu ahli pedang terbaik, nyaris tak tertandingi, dan ia selalu membela Kyra. Kyra merasa senang akan kehadirannya.

      "Begini," imbuh Arthfael. "Jika Maltren adalah seorang prajurit yang hebat, maka ia akan lebih banyak mengurus urusannya sendiri daripada sibuk mengurus orang lain."

      Anvin, Vidar dan Arthfael naik ke atas kuda mereka masing-masing lalu berlalu bersama para prajurit yang lain, sementara Kyra masih berdiri di situ memandang mereka berlalu, sembari berpikir. Mengapa seseorang harus membenci orang lain? begitulah ia bertanya-tanya. Ia tak pernah dapat memahami jawaban dari pertanyaan itu.

      Tatkala mereka berpacu mengelilingi arena latihan membentuk sebuah lingkaran lebar, Kyra mengamati kuda-kuda perang yang hebat itu dengan penuh rasa kagum, dan ia membayangkan suatu saat nanti ia akan menunggangi kuda perangnya sendiri. Kyra memandangi mereka yang berkuda berkeliling arena, berpacu di sekeliling dinding batunya, dan kaki-kaki kuda itu kadang-kadang terpeleset oleh salju. Mereka menangkap tombak yang dilemparkan oleh para pelayan latihan, dan sembari berkuda mengitari arena, mereka melontarkan tombak itu menuju sasaran yang jauh letaknya, yaitu perisai-perisai yang tergantung di dahan pohon. Ketika tombak itu mengenai sasaran, bunyi denting logam beradu terdengar bertalu.

      Ia rasa melempar tombak sambil berkuda itu jauh lebih sulit daripada yang ia lihat, dan lemparan tombak beberapa dari prajurit itu meleset, terlebih saat mereka membidik sasaran berupa perisai yang lebih kecil ukurannya. Bagi mereka yang berhasil mengenai sasaran, hanya sedikit yang lemparannya berhasil menancap tepat di tengah—kecuali Anvin, Vidar, Arthfael dan segelintir prajurit yang lainnya. Ia melihat betapa Maltren berulang kali gagal mengenai sasaran, lantas mengumpat diam-diam sambil melirik padanya, seolah-olah itu semua adalah salah Kyra.

      Agar badannya tetap hangat, Kyra mengeluarkan tongkatnya lalu mulai memutar dan mengayunkan tongkat itu dengan tangannya, melewati atas kepala, mengitari tubuhnya, meliuk dan berputar seolah tongkat itu bernyawa. Ia memukul musuh khayalannya, menangkis serangan khayalan, berganti tangan untuk memegang tongkat, memutarnya mengitari leher, mengitari pinggangnya; tongkat itu bagai tangannya yang ke-tiga, tongkat yang terbuat dari kayu yang amat tua.

      Saat para prajurit itu berkuda mengitari arena latihan, Kyra berlari menuju arena latihannya sendiri, sebidang tanah lapang kosong kecil di dalam arena latihan, yang tak pernah dipakai oleh para prajurit itu, namun merupakan sebidang tanah yang ia sukai sebagai tempat berlatih. Beberapa lempeng baja digantung dengan tali pada serumpun pepohonan, tersebar dengan ketinggian yang berbeda-beda, dan

      Kyra berlari sambil membayangkan bahwa sasaran itu adalah musuh-musuhnya, lalu memukulnya satu persatu menggunakan tongkat.

Скачать книгу