Скачать книгу

hutan, yang membentang sejauh matanya memandang. Toh ia tahu bahwa ia sudah semakin dekat dengan menara itu—setelah perjalanan berhari-hari, menara itu pasti tak jauh lagi letaknya.

      Merk kembali berjalan menuruni jalan setapak yang menurun; hutan semakin lebat, dan tatkala sampai di kaki bukit, ia melihat sebuah pohon yang besar tumbang menghalangi jalannya. Ia berhenti dan mengamati pohon itu, mengagumi ukurannya dan berpikir bagaimana cara memutar untuk melewatinya.

      "Menurutku jaraknya jauh sekali," bisik sebuah suara jahat di telinganya.

      Mark segera mengenali maksud jahat dari suara yang didengarnya itu, sesuatu yang sangat ia pahami, dan ia bahkan tak perlu memalingkan wajahnya untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mendengar daun-daun bergemerisik di sekelilingnya, dan dari dalam hutan muncullah wajah-wajah empunya suara tadi: para pembunuh keji, masing-masing dengan wajah yang sangat mengerikan. Mereka adalah orang-orang yang sanggup membunuh tanpa alasan. Itulah wajah-wajah begal dan pembunuh yang memburu orang-orang lemah secara acak, dengan kekejaman yang tak berperikemanusiaan. Bagi Merk, mereka adalah golongan manusia paling nista.

      Merk sadar bahwa ia telah terkepung dan ia telah memasuki perangkap. Ia memandang sekilas ke sekeliling tanpa mereka menyadarinya; naluri lamanya bangkit dan ia menghitung bahwa mereka semua berdelapan jumlahnya. Mereka semua memegang belati, semuanya mengenakan baju dari kain-kain bekas, dengan wajah, tangan dan kuku yang kotor, tak satu pun dari mereka yang bercukur, dan semuanya tampak nekat, yang menunjukkan bahwa mereka belum makan selama berhari-hari lamanya. Dan mereka semua merasa jemu.

      Mark merasa tegang saat pimpinan begal itu mendekat, namun bukan lantaran ia takut pada mereka; jika boleh memilih, Mark sanggup membunuh mereka, semuanya, tanpa kesulitan berarti. Yang membuatnya tegang adalah karena ia dipaksa melakukan kekerasan. Ia telah bertekad untuk menaati sumpahnya, apa pun risikonya.

      "Lihat, apa yang kita dapatkan di sini?" salah satu dari mereka bertanya pada yang lain, lalu mendekat dan berjalan mengitari Merk.

      "Sepertinya ia seorang pertapa," sahut yang lain dengan suara mengolok. "Tapi sepatunya itu bukan sepatu pertapa."

      "Mungkin ia adalah seorang pertapa yang menganggap dirinya seorang prajurit," seorang dari mereka berkata sambil terbahak.

      Tawa mereka pecah, dan salah satu dari mereka -seorang pria tolol berusia empat puluhan dengan gigi depan yang ompong- membungkuk ke arah Merk dengan nafasnya yang bau, lalu menepuk-nepuk pundak Merk. Dulu, Merk pasti sudah membunuh seseorang yang berani maju sedekat itu dengannya.

      Namun Merk yang sekarang telah bertekad menjadi seorang manusia yang lebih baik, demi mengalahkan kekerasan—bahkan jika kekerasan itu mengancam dirinya. Merk memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menahan dirinya agar tetap tenang.

      Jangan menggunakan kekerasan, katanya pada diri sendiri berulang-ulang.

      "Sedang apa pertapa ini?" salah satu dari mereka bertanya. "Berdoa?"

      dan meledaklah lagi tawa mereka.

      "Tuhanmu tak akan menyelamatkanmu kali ini, nak!" seru yang lain.

      Merk membuka matanya dan menatap tajam pada pria tolol itu.

      "Aku tak ingin melukai kalian," kata Merk tenang.

      Tawa mereka pun makin kencang dari sebelumnya, dan Merk sadar bahwa dengan tetap tenang, tidak menanggapi dengan kekerasan, adalah hal paling sulit yang pernah dilakukannya.

      "Beruntunglah kami ini!" balas salah seorang dari mereka.

      Mereka tertawa lagi, lalu tiba-tiba mereka diam saat pemimpin kawanan ini maju dan berhadapan dengan muka Merk.

      "Tapi mungkin, kami ingin mencelakaimu," katanya dengan nada serius, dekat sekali dengan wajah Merk sehingga ia bisa mencium bau busuk nafas pria itu.

      Seorang dari berdiri di belakang Merk, menyilangkan lengannya yang besar ke tenggorokan Merk dan mencekiknya. Merk megap-megap karena tercekik; cekikan itu cukup kuat untuk menyakitinya, namun tak sampai menghentikan nafasnya. Naluri alamiahnya adalah mencengkeram pria itu lalu membunuhnya. Mudah sekali; ia tahu benar titik di lengan yang harus ditekan agar cekikan itu terlepas. Namun ia menahan diri untuk tidak melakukannya.

      Biarkan saja, katanya dalam hati. Inilah permulaan dari kerendahan hati.

      Merk memandang pemimpin begal itu.

      "Ambillah milikku semau kalian," kata Merk dengan nafas megap-megap. "Ambillah, dan pergilah."

      "Bagaimana jika kami mengambilnya dan kami tetap di sini?" balas pemimpin itu.

      "Tidak ada yang menanyaimu tentang apa yang bisa dan tidak bisa kami ambil, nak," kata yang lain.

      Salah satu dari mereka maju dan menggeledah lengan baju Merk, tangannya mengaduk-aduk kantong berisi barang-barang kepunyaannya yang terakhir di dunia ini. Merk menahan diri sekuat tenaga untuk tetap tenang saat tangan orang itu menggeledah segala barang miliknya. Akhirnya, mereka menemukan belati perak tua, senjata kesukaanya, dan Merk yang masih kesakitan tetap berusaha tidak bereaksi.

      Biarkan saja, katanya dalam hati.

      "Apa ini?" tanya salah satu dari mereka. "Sebuah belati?"

      ia menatap Merk.

      "Mengapa seorang pertapa sepertimu membawa sebuah belati?" tanya seorang dari begal-begal itu.

      "Apa yang kau lakukan, nak? memahat pohon?" tanya yang lain.

      Mereka semua tertawa, dan gigi Merk bergemeretak membayangkan seberapa lama lagi ia mampu menahan diri.

      Orang yang mengambil belati itu berhenti, memandang pergelangan tangan Merk dan menyibakkan lengan bajunya. Merk menahan diri, ia tahu bahwa mereka akan melihatnya.

      "Apa ini?" begal itu bertanya, menarik lengan Merk dan mengangkatnya, lalu mengamatinya.

      "Sepertinya seekor rubah," kata yang lain.

      "Mengapa seorang pertapa memiliki tato rubah?" tanya seorang dari mereka.

      Lalu seorang yang lain lagi maju; badannya tinggi kurus, dengan rambut kemerahan, lalu merengkuh pergelangan tangan Merk dan mengamatinya dengan saksama. Kemudia ia melepaskannya dan memandang Merk dengan mata penuh curiga.

      "Ini bukan rubah, tolol," katanya pada kawannya. "Ini tato serigala. Ini adalah lambang pasukan Sang Raja—seorang prajurit bayaran."

      Merk merasa wajahnya merona saat melihat mereka menatap tato itu. Ia tak ingin jati dirinya terkuak.

      Semua begal ini masih terdiam, menatap tato di pergelangan tangannya, dan baru kali ini Merk melihat keraguan tersirat di wajah mereka.

      "Itu adalah sebutan untuk ordo pembunuh," kata salah seorang dari mereka lalu menatapnya lagi. "Bagaimana kau mendapatkan tato ini?"

      "Mungkin ia sendiri yang membuatnya," jawab yang lain. "Agar selamat di perjalanan."

      Pemimpin begal itu mengangguk pada anak buahnya agar melepaskan cekikan di leher Merk, lalu Merk dapat bernafas panjang dengan lega. Namun si pemimpin itu lantas menarik dan menempelkan sebuah pisau di tenggorokan Merk, dan Merk membayangkan apakah mungkin ia akan mati di sini, hari ini, di tempat ini. Ia membayangkan bahwa mungkin ini adalah hukuman atas semua nyawa yang pernah ia bunuh. Ia bertanya-tanya apakah ia telah siap mati.

      "Jawab dia," bentak si pemimpin. "Kau sendiri yang merajah tato ini?" Konon untuk mendapatkan tato ini, kau harus membunuh seratus orang terlebih dulu."

      Merk menarik nafas, dan dalam keheningan itu, mereka semua menanti jawaban apa yang akan ia berikan. Akhirnya, Merk menghela nafas.

      "Seribu nyawa," kata Merk.

      Si pemimpin mengerjapkan mata, ia bingung.

      "Apanya?" tanyanya.

      "Seribu nyawa," papar Merk. "Sebanyak itulah yang harus kubunuh untuk mendapatkan tato itu. Dan Raja Tarnis sendiri yang menorehkannya di pergelangan tanganku."

      Semua menatap Merk dengan terkejut, dan keheningan yang panjang menyelimuti seluruh hutan itu, demikian heningnya hingga Merk dapat mendengar

Скачать книгу