ТОП просматриваемых книг сайта:
Penjelmaan. Морган Райс
Читать онлайн.Название Penjelmaan
Год выпуска 0
isbn 9781632911810
Автор произведения Морган Райс
Серия Jurnal Vampir
Издательство Lukeman Literary Management Ltd
"Tidak," jawabnya, wajahnya memerah. "Itu hanya bagaimana mereka memanggilku. Seperti pada Obama. Mereka kira aku seperti beliau."
Ia menatapnya dengan saksama dan menyadari bahwa ia memang seperti Obama.
"Itu karena aku separuh kulit hitam, sebagian kulit putih, dan sebagian dari Puerto Rico."
"Hm, aku kira itu pujian," katanya.
"Bukan dengan cara mereka mengatakannya," jawabnya.
Ia mengamati ketika dia duduk di kusen jendela, rasa percaya dirinya mengempis, dan ia bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang sensitif. Bahkan rapuh. Dia bukan merupakan bagian kelompok remaja ini. Itu adalah hal yang gila, tapi ia hampir merasa protektif terhadap dia.
"Aku Caitlin," katanya, mengulurkan tangannya dan menatap matanya.
Ia mendongak, terkejut, dan senyumnya kembali.
"Jonah," jawabnya.
Ia menjabat tangannya dengan erat. Sensasi menggelitik menjalari lengannya saat ia merasakan kulit lembutnya menggenggam tanganya. Ia merasa meleleh ke dalam dirinya. Dia menahan genggaman tangannya beberapa detik lamanya, dan ia tidak dapat menahan untuk balas tersenyum.
*
Sisa pagi itu sudah kabur, dan Caitlin lapar pada saat ia sampai di kafetaria. Ia membuka pintu ganda dan terperangah oleh ruangan yang besar, kebisingan luar biasa atas apa yang nampaknya seperti ribuan remaja, semua berteriak. Itu seperti memasuki pusat kebugaran. Kecuali bahwa setiap dua puluh kaki di sana berdiri petugas keamanan, di lorong-lorong, mengamati dengan saksama.
Seperti biasanya, ia tidak punya gagasan ke mana harus pergi. Ia mencari-cari di ruangan besar itu, dan akhirnya menemukan sebuah tumpukan nampan. Ia mengambil satu, dan memasuki apa yang ia kira sebagai antrian makanan.
"Jangan memotongku, menyebalkan!"
Caitlin berbalik dan melihat seorang perempuan besar yang gemuk, setengah kaki lebih tinggi darinya, memandang dengan marah.
"Maafkan aku, aku tidak tahu-"
"Antrian di belakang sana!" bentak cewek lain, menunjuk dengan ibu jarinya.
Caitlin mencari dan melihat antrian itu memanjang paling tidak seratus remaja. Itu terlihat seperti antrian selama dua puluh menit.
Saat ia mulai menuju ke belakang antrian, seorang remaja di antrian mendorong yang lain, dan dia melayang di depannya, menubruk lantai dengan keras.
Remaja pertama melompat di atas yang lain dan mulai meninju wajahnya.
Kafetaria itu meledak dalam raungan kehebohan, ketika lusinan remaja berkumpul berkeliling.
"LAWAN! LAWAN!"
Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, menyaksikan dalam kengerian pada peristiwa kejam di kakinya.
Empat petugas keamanan akhirnya datang dan melerai mereka, memisahkan dua remaja berlumuran darah dan menyeret mereka. Mereka tidak nampak terlihat tergesa-gesa.
Setelah Caitlin akhirnya mendapat makanan, ia memandang ke sekeliling ruangan, berharap ada tanda-tanda Jonah. Tapi ia tidak kelihatan di mana pun.
Ia berjalan di lorong, melewati meja demi meja, semua dipenuhi dengan remaja. Ada beberapa bangku kosong, dan satu-satunya yang kosong tidak nampak mengundang, bersebelahan dengan kumpulan teman yang besar.
Akhirnya, ia mengambil tempat duduk di sebuah meja kosong mengarah ke belakang. Hanya ada satu remaja sangat jauh di ujungnya, remaja laki-laki Tiongkok pendek yang lemah dengan sumpit, berpakaian dengan buruk, yang tetap menundukkan kepalanya dan berfokus pada makanannya.
Ia merasa sendirian. Ia memandang ke bawah dan memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan Facebook dari teman-temannya di kota tempat tinggal terakhirnya. Mereka ingin mengetahui apakah ia menyukai tempat barunya. Entah kenapa, ia merasa tidak ingin menjawabnya. Mereka terasa sangat jauh.
Caitlin nyaris tidak makan, sebuah muak hari pertama yang samar masih menghinggapinya. Ia mencoba merubah rentetan pikirannya. Ia menutup matanya. Ia memikirkan apartemen barunya, naik lima lantai dalam sebuah bangunan dekil di jalan no. 132. Rasa mualnya semakin parah. Ia menarik napas dalam-dalam, menyuruh dirinya untuk berfokus pada sesuatu, sesuatu yang bagus dalam hidupnya.
Adik laki-lakinya. Sam. 14, akan menjadi 20. Sam tidak pernah terlihat ingat bahwa dia adalah adiknya: dia selalu bertingkah seperti kakak laki-lakinya. Dia tumbuh tabah dan kuat dari semua kepindahan, dari kepergian Ayah mereka, dari cara Ibu mereka memperlakukan mereka berdua. Ia bisa melihat hal itu semakin mendekati dia dan bisa melihat bahwa dia mulai menutup dirinya. Seringnya perkelahian sekolah dia tidaklah mengejutkannya. Ia takut itu hanya akan menjadi lebih buruk.
Tapi ketika berhubungan dengan Caitlin, Sam sangat menyayanginya. Dan ia juga menyayanginya. Dia adalah satu-satunya hal yang kosntan dalam hidupnya, satu-satunya yang bisa ia andalkan. Dia nampaknya menguasai satu titik lembut yang tersisa dalam dunianya. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk melindungi dia.
“Caitlin?”
Ia terlompat.
Berdiri di depannya, dengan baki di satu tangan dan kotak biola di tangan lainnya, adalah Jonah.
"Bolehkah aku bergabung denganmu?"
"Ya - maksudku tidak," katanya, salah tingkah.
Bodoh, pikirnya. Berhentilah bertingkah begitu gugup.
Jonah menyunggingkan senyumnya, lalu duduk di depan Caitlin. Dia duduk tegak, dengan postur tubuh yang sempurna, dan meletakkan biolanya dengan hati-hati di sisinya. Dia meletakkan makanannya dengan perlahan. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Dia berbeda dari siapa pun yang pernah is jumpai. Sepertinya dia berasal dari jaman yang berbeda. Dia benar-benar tidak berasal di tempat ini.
"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Jonah.
"Tidak seperti yang kuharapkan."
"Aku tahu apa yang kamu maksud," kata Jonah.
"Apakah itu sebuah biola?"
Ia mengangguk pada instrumennya. Dia tetap menutupnya, dan tetap meletakkan satu tangan di atasnya, seolah-olah takut seseorang mungkin mencurinya.
"Ini sebenarnya adalah biola alto. Ini hanya sedikit lebih besar, tapi suaranya sangat berbeda. Lebih mellow."
Ia tidak pernah melihat sebuah biola alto, dan berharap dia akan meletakkannya di meja dan menunjukkan padanya. Tapi dia tidak melakukan apa-apa, dan ia tidak ingin mengungkitnya. Ia masih meletakkan tangan di atasnya, dan dia nampaknya melindungi benda itu, seperti layaknya benda yang personal dan pribadi.
"Apakah kau sering berlatih?"
Jonah mengangkat bahu. "Beberapa jam sehari," jawabnya sambil lalu.
"Beberapa jam!? Kau pasti hebat!"
Dia mengangkat bahu lagi. "Aku oke, sepertinya. Ada banyak pemain biola yang sangat lebih bagus dariku. Tapi aku berharap ini adalah tiketku untuk keluar dari tempat ini."
"Aku selalu ingin bermain piani," kata Caitlin.
"Kenapa tidak?"
Ia akan berkata, aku tidak pernah punya piano, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia mengangkat bahu dan kembali pada makanannya.
"Kau tidak perlu memiliki sebuah piano," kata Jonah.
Ia mendongak, terkejut bahwa ia dapat membaca pikirannya.
"Ada ruang latihan di sekolah ini. Untuk semua hal jelek yang ada di sini, paling tidak itulah hal baiknya. Mereka akan memberimu pelajaran dengan gratis. Yang perlu kau lakukan hanya mendaftar."
Mata Caitlin melebar.
"Sungguh?"
"Ada lembar pendaftaran di luar ruang musik. Mintalah bertemu Ibu Lennox. Katakan pada beliau kau adalah temanku."
Teman. Caitlin menyukai bunyi kata itu.